SPIRITUALITAS KERENDAHAN DAN KEBAJIKAN

Renungan Minggu Ini

Minggu ,01 September 2019 (Minggu Pertama, Minggu Biasa)

SPIRITUALITAS KERENDAHAN DAN KEBAJIKAN”

(Ibrani 13:1-8, 15-16 ; Lukas 14:1, 7-14)

     Penulis surat Ibrani memberikan nasihat terkait hidup bersama sebagai satu keluarga di dalam persekutuan. Ayat pertama menasihatkan, “Peliharalah kasih persaudaraan!”.  Ungkapan ini dapat dimengerti sebagai perintah untuk tetap tinggal secara terus menerus di dalam kasih persaudaraan. Artinya, ada proses keberlanjutan dalam mewujudkan kasih persaudaraan tersebut. Penulis surat kemudian memberikan contoh aplikasi atau tindakan nyata mewujudkan kasih persaudaraan, yaitu solidaritas sosial, memberikan tumpangan kepada orang, memperlakukan orang lain dengan baik, menjaga dan menghormati kekudusan perkawinan, tidak menjadi hamba uang dan respek terhadap pemimpin rohani. Tindakan inilah yang dalam ayat 15-16 disebut sebagai tindakan memuliakan Allah dan persembahan korban yang berkenan kepada Allah. Memelihara kasih persaudaraan berarti terus mewujudnyatakan kebajikan dalam sikap rendah hati.

     Melalui kebiasaan para pemuka agama dalam bertamu dan mengundang tamu, Yesus menyampaikan pengajaran-Nya. Pertama, kehormatan tidak didapatkan berdasarkan pengakuan diri sendiri melainkan oleh pengakuan orang lain. Tanpa dibuat-buat, tanpa menonjolkan diri, tanpa mencari-caripun, kehormatan orang terhormat akan tetap melekat pada dirinya sendiri dan diakui oleh orang lain. Kedua, kehormatan justru diperoleh tatkala seseorang mampu menerima semua orang menjadi bagian hidupnya. Kehormatan oleh karena manusia mampu untuk memanusiakan yang lain. Mari membangun spiritualitas kerendahan hati dan kebajikan dalam hidup sehari-hari. Tuhan memberkati. Amin.

TERJEBAK HUKUM RITUAL ATAU MENGUTAMAKAN HUKUM KASIH YANG MEMULIHKAN?

Renungan Minggu Ini

Minggu ,25 Agustus 2019 (Minggu Keempat, Minggu Biasa)

TERJEBAK HUKUM RITUAL ATAU

MENGUTAMAKAN HUKUM KASIH YANG MEMULIHKAN?”

(Yesaya 58: 9b-14 dan Lukas 13: 10-17)

     Teguran Tuhan kepada bangsa Israel melalui nabi Yesaya ini mengingatkan umat tentang hakikat dari panggilan hidup manusia ketika Ia diciptakan di dunia ini. Bahwa manusia adalah mitra Allah dalam karya  penciptaan dan pemeliharaan ciptaan. Kenyataannya, agama yang semestinya menuntun manusia dalam mewujudkan panggilan tersebut justru menjadikan umat Allah lupa akan tanggung jawabnya. Umat Allah sering terlalu sibuk dengan kesalehan pribadi dalam menjalankan kehidupan beragama, sehingga lupa terhadap lingkungan dan dunianya. Nabi Yesaya diutus untuk menyadarkan kembali umat. Kesalehan personal tidak akan berdampak apa-apa bagi dunia. Kesalehan personal perlu diwujudkan dalam kesalehan sosial, keterlibatan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang ada di sekitar.

     Membaca pada bacaan Injil, Yesus sendiri telah memberikan pengajaran melalui teladan secara langsung. Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang telah dirasuki roh selama 18 tahun sehingga tubuhnya lemah dan menderita. Melihat apa yang dilakukan Yesus, kepala rumah ibadat justru marah. Namun Ia tidak berani melampiaskan kemarahannya kepada Yesus maupun perempuan itu secara langsung, sehingga Ia menggunakan orang-orang banyak sebagai objek kemarahan.“Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah  satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat”(ayat 14c). Perkataan ini menunjukkan kecenderungan kepala rumah ibadat dan kebanyakan orang-orang Yahudi yang lebih mementingkan ritual, kesalehan pribadi namun tidak memiliki kepedulian terhadap realitas sosial yang dialami oleh sesamanya. Bagaimana dengan kita? Maukah kita mengedepankan kasih dan tidak hanya mengedepankan kesalehan pribadi dan ritual? Tuhan memampukan. Amin.

“KETAATAN SEBAGAI NILAI LUHUR KEHIDUPAN”

Renungan Minggu Ini

Minggu,11 Agustus 2019 (Minggu Kedua, Minggu Biasa)

“KETAATAN SEBAGAI NILAI LUHUR KEHIDUPAN”

(Ibrani 11: 1-3, 8-16 dan Lukas 12:32-40)
 

Dalam surat pada jemaat di Ibrani, penulis terlebih dahulu menjelaskan makna dari iman. Iman adalah percaya kepada hal-hal yang belum kelihatan. Iman adalah bukti dari sesuatu yang tidak kita lihat, segala sesuatu yang kita harapkan. Iman bukanlah percaya kepada yang tidak dikenal, kerena melalui iman kita dapat mengetahui hal-hal yang tidak kelihatan oleh mata dan tetap taat pada yang diyakini. Penulis Ibrani memberikan contoh tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama yang hidup oleh iman dan ketaatannya, di antaranya Habel, Henokh, dan Nuh. Namun bacaan kita memusatkan perhatian kepada iman Abraham. Iman mendorong Abraham untuk taat sepenuhnya kepada kehendak Allah. Dia sungguh-sungguh menghidupi imannya. Meskipun dalam perjalanan kehidupan ia diperhadapkan dengan berbagai tantangan, hal itu tidak membuatnya terjatuh. Ia tetap kuat dan taat serta mengimani bahwa janji Tuhan akan digenapi.

Berbahagialah orang-orang yang dengan setia dan taat menantikan kedatangan Anak Manusia dalam iman dan dengan penuh kewaspadaan. Untuk mengajarkan hal itu, Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang hamba yang tengah menantikan tuannya pulang dari pesta perkawinan. Hamba itu tidak tahu persis waktu kepulangan tuannya namun Yesus mengingatkan bahwa seorang hamba harus tetap bersiap. Itu berarti hamba harus selalu dalam keadaan waspada supaya kalau sewaktu-waktu tuannya datang, hamba itu kedapatan siap untuk menyambut tuannya. Orang Kristen yang mengaku beriman kepada Yesus tidak cukup menyatakannya melalui ucapan dan pengakuan. Iman itu harus disertai dengan tindakan dalam hidup keseharian. Orang Kristen harus berani untuk mengekspresikan imannya dengan sikap ketaatan dengan melakukan sabda Tuhan. Amin.

“PERJUANGKAN IMAN DI TENGAH DERITA!”

Renungan Minggu Ini

Minggu,18 Agustus 2019 (Minggu Ketiga, Minggu Biasa)

“PERJUANGKAN IMAN DI TENGAH DERITA!”

(Ibrani 11:29 - 12:2 dan Lukas 12: 49-56)

     Penulis  surat  Ibrani mengajak kita untuk tetap menjaga kesetiaan iman kepada Yesus sampai akhir. Seperti halnya yang dilakukan oleh banyak tokoh Perjanjian  Lama  yakni Gideon,  Barak, Simson, Yefta, Daud,  Samuel,  dan para nabi.  Mereka dapat menaklukkan pergumulan yang mereka hadapi karena keyakinan iman yang begitu kuat kepada Tuhan Allah, mereka dikenang sebagai tokoh yang setia dan memiliki iman yang kuat. Mereka mampu melewati tantangan-tantangan mengikut jalan salib sebagaimana yang dilakukan Yesus.  Jalan salib adalah jalan yang tak terhindarkan ketika seseorang memutuskan untuk mengikuti Yesus.

     Bacaan Injil hari iniberkisah mengenai Yesus yang ingin mempersiapkan para pengikut-Nya sejak dini supaya mereka tidak kaget dan gugup ketika menghadapi perubahan yang terjadi setelah mengambil keputusan untuk menjadi mengikut Dia. Persiapan ini penting, sebab ketika mengikuti Yesus, akan banyak penderitaan yang dialami oleh seseorang  yang berpotensi melemahkan iman.  Untuk mempertahankan iman yang  dimiliki  tidak mudah. Kita akan senantiasa diperhadapkan dengan berbagai macam permasalahan dan penderitaan.  Kabar gembiranya, melalui semua penderitaan itu, iman kita akan sangat teruji ketika kita mampu menghadapi setiap permasalahan pergumulan hidup kita. Tuhan menolong. Amin.

 

“KETAMAKAN MENDATANGKAN BENCANA BAGI BANGSA”

Renungan Minggu Ini

Minggu,04 Agustus 2019 (Minggu Pertama, Minggu Biasa)

“KETAMAKAN MENDATANGKAN BENCANA BAGI BANGSA”

 (Pengkhotbah 1:2, 12:14; 2:18-23 dan Lukas12:13-21)
 

     Bagi penulis kitab Pengkhotbah, segala sesuatu yang dikerjakan manusia pada dasarnya bukanlah untuk dirinya sendiri karena setiap hasil jerih payah yang dilakukan pada akhirnya akan dinikmati oleh orang lain. Jika ia menikmati jerih payahnya, itu pun hanya sepanjang hidup dan karyanya saja. Kemelekatan pada hidup duniawi hanya akan memunculkan kesia-siaan. Sikap demikian menunjukkan ketamakan. Sebuah sikap yang bukan hanya identik dengan orang kaya saja seperti yang ditunjukkan dalam bacaan Injil. Orang miskin dan tidak berkuasa sekalipun memiliki kecenderungan untuk menjadi tamak. Pengajaran Yesus tentang bahaya ketamakan ini bermula dari permintaan seseorang agar Yesus menyuruh saudaranya berbagi warisan dengannya. Permintaan orang tadi menjadi pintu masuk bagi Yesus untuk memberi pengajaran tentang bahaya ketamakan.

     Bagi Yesus, ukuran kebahagiaan bukan kekayaan, kehormatan, dan kedudukan sering menjadi ukuran utama kebahagiaan. Pandangan inilah yang kemudian melahirkan sikap tamak dan sombong dalam diri manusia. Ukuran bahagia tidak terletak pada segala yang dimiliki dan didapat manusia. Jika seseorang memiliki kekayaan dan kedudukan apakah lalu disebut bahagia? Atau sebaliknya, jika orang itu miskin, apakah kemudian disebut tidak bahagia? Kebahagiaan adalah proses olah batin dalam rangka mensyukuri setiap usaha dan segala sesuatu yang dimiliki. Kekayaan, kedudukan, dan segala sesuatu yang melekat dalam hidup di dunia ini pada akhirnya akan terlepas ketika kematian menjemput. Oleh karena itu, setiap orang percaya dipanggil untuk senantiasa hidup bersandar pada Allah Sang Sumber Kehidupan. Amin.